Minggu, 17 Februari 2008

Cinta dalam Sepotong Coklat dan Sebuket Bunga

Ada yang pernah bilang, "love doesnt have to have a happy ending, because love doesn't have to end at all".

Jadi, kalau cinta - dalam bentuk universal dan berbagai macam cara penyampaiannya - kita sepakati bahwa tak perlu ada akhir, jadi buat apa ada sebuah hari khusus "merayakan" kasih sayang? apakah kurang 364 hari lainnya kita menunjukkan kasih sayang kita pada yang terkasihi?

Perlukah kita memberikan kado atau ucapan kasih sayang pada mereka yang terkasihi? ataukah ini hanya sebuah wujud komersialisasi dan kapitalisasi "cinta" dari para pemilik modal? kalau begitu, cinta hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki duit donk. duit duit lagi.... senandung melly goeslaw

Bagaimana dengan saudara2 kita lainnya, yang jangankan membelikan sepotong coklat dan sebuket bunga bagi terkasihnya, bahkan untuk sesuap nasi pun harus mengais2 kantong sampah di pinggir jalan jakarta yang berdebu dan berpolusi? atau yang tidak memiliki jaringan koneksi internet dan listrik karena dipadamkan oleh PLN akibat banjir yang menggenangi rumahnya? kalau begitu cinta hanya bisa dinikmati oleh mereka yang memiliki duit lagi donk....

Perlukah cinta diberikan hari khusus untuk dirayakan?
Perlukah cinta diungkapkan dengan kata dan kalimat khusus?
Perlukah cinta diabadikan dengan sepotong coklat dan sebuket bunga mawar?

Padahal, hari khusus dalam cinta bukanlah sebuah hari di pertengahan februari, tapi hari kala kamu dan dirinya (terserah siapa) mendapatkan sebuah momentum terkasihnya. Yang ketika itu terjadi, terkalahkanlah sepotong coklat dan sebuket bunga, kata kalimat puitis yang dijalin romantis, atau candle light dinner yang dipersiapkan secara khusus.

Padahal, cinta kita kepada mereka yang kesusahan dan tertimpa musibah jauh lebih indah ketimbang menghabiskannya pada sepotong coklat dan sebuket bunga.....
Bedakah bentuk cinta seorang tua penyapu jalanan yang membersihkan kotoran dedaunan di jalan jakarta sehingga jakarta menjadi kota yang lebih bermartabat kebersihannya?
Bedakah bentuk cinta seorang ibu pemanggul barang bawaan di tanjung priok demi mencari penghidupan bagi anak2nya yang sedang menyambung asa mengecap pendidikan tinggi?
Bedakah bentuk cinta ibu2 rumah tangga yang menghabiskan 15 jam waktunya sehari untuk mengurus suaminya, anak2nya yang rewel dan manja, hingga ia alpa mengurus dirinya sampai pudarlah kecantikan itu dalam sekejap, namun masih sempat mengucap "wa'alaikumsalam, udah pulang sayang? gimana tadi di kantor/sekolah?" dengan lembutnya?

Betul tidak...?

Minggu, 18 November 2007

Demokrasi Partikular Elit Politik Indonesia

Dalam sebuah kesempatan, sepenggal kalimat yang diucapkan Abraham Lincoln di Gettysburg kala Amerika Serikat dilanda perang saudara, telah menjadi fondasi dasar demokrasi. Kini, dalam sebuah era di mana demokrasi mengalami pasang-surut, negeri kita tampaknya masih perlu banyak belajar bagaimana kemudian demokrasi itu dijalankan dan dikelola dengan baik.
Pemandangan akhir-akhir ini kita disuguhi oleh derasnya wacana pencalonan beberapa elit politik “wajah lama” untuk maju dalam pemilihan Presiden yang akan berlangsung kurang lebih 2 tahun lagi. Nama-nama yang telah memastikan akan maju seperti Megawati Soekarnoputri yang dicalonkan PDI-P, Abdurrahman Wahid oleh PKB, dan Sutiyoso. Diantara mereka kemudian menyeruak beberapa nama lagi yang digadang akan meramaikan bursa pencalonan seperti Wiranto, Akbar Tanjung, Sultan Hamengkubuwono XI, serta tak lupa Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla tentunya.

Kekeliruan Paradigma
Politik, dengan berbagai paradigma filosofis dan pragmatis, terdesain menyatu dengan kekuasaan. Sangat naif kemudian apabila melakukan aktivitas politik tanpa berkeinginan mengontrol kekuasaan pemerintahan. Dan tentu secara formal, mengontrol kekuasaan melalui jalur politik menjadi sebuah pilihan yang sangat lazim dilakukan. Namun kemudian, kekuasaan itu harus dipraktekkan demi kesejahteraan rakyat, serta aktivitas politik harus diamalkan dalam proses yang demokratis pula.
Banyak pihak yang kemudian menenggarai lemahnya proses pembangunan demokrasi Indonesia dikarenakan alam politik Indonesia dipenuhi oleh elit politik yang ingin berkuasa tidak atas dasar pengabdian pada masyarakat.. Disinilah kemudian, seperti yang diutarakan sosiolog Ignas Kleden, gagalnya elit politik dalam membentuk demokrasi sebagai pedoman pembangunan politik, ekonomi dan sosio-budaya masyarakat Indonesia.
Demokrasi haruslah dirancang, disepakati, dan diimplementasikan sebagai alat dan tujuan akhir dari kehidupan berbangsa dan bernegara menuju perubahan yang lebih baik. Maka sungguh sangat “tidak demokratis” bagi para aktor elit politik menggunakan prosedur demokrasi untuk mencapai tujuan yang anti-demokrasi, seperti pemerintahan yang otoritarian misalnya.

Demokrasi yang tidak Demokratis
Jalur pemilu memang menjadi rancangan dasar sebuah negara yang berdemokrasi. Namun, dalam mengukur kadar demokrasi sebuah negara tidak sekedar menjalankan pemilihan umum yang rutin semata. Atilio Boron, seorang ilmuwan politik dari Argentina, memilah demokrasi menjadi empat model, yaitu demokrasi elektoral, politik, sosial dan demokrasi ekonomi.
Sebagai model yang paling sederhana, demokrasi elektoral ditandai oleh dijalankannya pra-syarat negara demokrasi, seperti pemilu reguler, adanya badan representasi masyarakat, dan kompetisi antar parpol untuk memperebutkan suara pemilih. Namun model demokrasi ini mengabaikan substansi dari demokrasi itu sendiri, yaitu melahirkan wakil rakyat yang representatif dan menguatkan basis-basis masyarakat sosial (civil society). Maka dijalankannya praktek demokrasi saat ini oleh aktor elit politik tidak lebih hanya sebagai “bumbu pemanis” agar mereka dapat diberi label “demokratis” oleh pemilih. Dan masyarakat pemilih pun hanya diperlakukan sebagai obyek rutin perhelatan pemilu semata
Disinilah kemudian William Case memberikan peringatan, bahwa demokrasi yang substantif (substantive democracy) terjadi hanya apabila ditandai oleh eksisnya institusi demokrasi (democratic institution) dan inherennya perilaku demokrasi (democratic behaviour) pada tataran institusi, aparat pelaksana, hingga lapisan masyara-kat. Jika tidak, maka praktek demokrasi yang dijalankan tidak lebih hanya demokrasi prosedural, atau demokrasi elektoral dalam perspektif Boronisme.

Pembenahan Demokrasi
Pengumuman menjadi calon presiden ketika masa kampanye pemilu masih sangat jauh, justru hanya menunjukkan kelemahan dan ketidakpercayaan diri parpol di Indonesia dalam mengorganisasi massa pemilih, melakukan sosialisasi politik, serta rendah dalam proses kaderisasi dan rekrutmen kader. Hal tersebut pun tidak terlepas dari praktek demokrasi yang dijalankan elit politik Indonesia yang masih semu, prosedural, dan setengah hati.
Pembangunan demokrasi Indonesia tampaknya masih memiliki banyak pekerjaan yang harus sesegera mungkin dibenahi, dimulai dari pembenahan institusi demokrasi di Indonesia. Karena demokrasi memang dirancang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.